SEJARAH GEREJA SAN INIGO DIRJODIPURAN
Sesungguhnya nama Dirjodipuran bagi penduduk Solo atau Surakarta tidak banyak dikenal. Dirjodipuran dahulu adalah suatu tempat tinggal bangsawan bernama R. M.T. Dirjodipuro,dan tempat tinggalnya dinamakan Dirjodipuran. Karena di tempat ini, yakni”Dalem Dirjodipuro pada tahun 1963, umat beriman disekitarnya mengadakan Ekaristi setiap hari jumat pertama dan kemudian hari Minggu yang di persembahkan oleh room Prawirosuprapto, SJ.Selanjutnya sejak tahun 1966 sampai sekarang, gereja paroki ini disebut Gereja San Inigo Dirjodipuran Surakarta.
Jemaat Perdana
Pada tahun 1966 jumlah umat Paroki Purbayan bertambah banyak. Meskipun tiap hari Minggu sudah diadakan Ekaristi 4 kali, Gereja St. Antonius Purbayan terlihat penuh sesak sehingga banyak umat yang terpaksa berdiri. Maka Rm. Harsowijoyo, SJ merencanakan mengadakan Ekaristi wilayah bagian selatan Solo untuk mengatasi berjubelnya umat di gereja St. Antonius Purbayan yang mirip peti kemas kelebihan barang.Kemudian Bapak P. Madisiswoyo sebagai pamong umat Gajahan mengajak Ign Sukardi meminta izin menggunakan rumah ibu R.A.Dirjidipuro yang hanya ditempati putra sulungnya dan para abdinya sebagai tempat Ekaristi umat stasi. Pada hari Minggu pertama tanggal 4 September 1966 dimulailah Ekaristi Kudus pertama bertempat di pendopo Dirjodipuran yang sejak beberapa tahun dihentikan. Mula-mula jumlah umat sekitar 200 orang dan pada akhir tahun 1966 berjumlah sekitar 300 orang.
Dari dalam Ekaristi di Dirjodipuran itulah mengalir rahmat persaudaraan di antara umat.Mereka sehati dan sejiwa.Dalam setiap perayaan Ekaristi kudus tersebut tikar – tikar di gelar, dan dingklik-dingklik digotong dari SD Kanisius Serengan yang pada waktu itu dipimpin oleh Ibu C. Warsiti. Untuk membangun jemaat dibentuklah satu dewan stasi sementara yang diketuai oleh bapak R.S. Mardisiswoyodan penulisnya adalah Bapak P. C. Sutikno.Dewan Stasi inilah yang mengkoordinasikan umat untuk mengusahakan tambahan dingklik dan mengusahakan dana dari kringkring yang telah ada.Besama Romo Dewan Stasi berusaha mencari tanah untuk gereja. Pada bulan Januari 1967 (alm) Rm. Harsowijoyo SJ meninggalkan umat karena mendapat tugas baru di Jakarta,penggantinya yakni (alm) Rm.Verouge SJ yang ternyata hanya sementara mendampingi umat sehingga membangun gereja bagi umat masa itu masih sebagai” The Impossible Dream”.
Dalam laporannya kepada Keuskupan Agung Semarang pada tahun 1984, Bp.Y. Sri Wirasmo menuliskan bahwapada mulanya masih banyak umat yang enggan mengikuti Perayaan Ekaristi di Dirjodipuran sebab keadaan “pendopo” sudah tua dan sederhana. Bila hujan gentingnya bocor,tempat duduknya hanya tikar dan dingklik panjang,organ yang di pakai adalah orgel genjot yang sudah tua dan mudah rusak; hal itu menyebabkanibadat tidak menarik dan tidak khidmat. Pada tanggal 22 April 1967 Rm. L. Sugiri van de Heuvel SJ ditugasi penuh untuk mendampingi umat mengembangkan stasi Dirjodipuran. Imam yang ramah tmah, lincah yang terhafal nama-nama umatnya dandicintai umat ini berhasil mengatasi kesulitan yang dihadapi.Banyak orang tersapa dan semakin banyak yang ingin di baptis dan mau berkumpul dalam ibadat bersama .
Maka mulai tanggal 11 Februari 1968 diadakan Ekaristi 2 kali. Upacara Pekan Suci 1968 sudah diadakan secara lengkap. Namun, masih ada hal yang memprihatinkan, ialah belum dimilikinya tanah untuk mendirikan gereja sendiri. Pada tanggal 9 Juni 1968 Bapa Kardinal Y. Darmoyuwono berkenan mendengar hati umat ketika berkunjung ke Dirjodipuran dalam Sakramen Krisma pada 300 orang.Menurut Bp. Ign. Sukardi dari lingkungan Gajahan salah satu syarat pembelian yang di ajukan Ibu R.A. Dirjodipuro mohon agar nama gereja yang didirikan tetap mencamtumkan nama Dirjodipuran.
Selanjutnya Rm. L. Sugiri menulis dalam suratnya bertanggal 19 Juni 2000 kepada panitia. Umat yang sebagian berkultur Jawa – Solo ini memang ingin memelihara bahasa dan budayanya dengan menggunakan serta membaptisnya dalam liturgy peribadatan. Bahasa Jawa di pakai dalam Perayaan Ekaristi pada Sabtu sore dan bahasa Indonesia pada hari Minggu. Pada saat tertentu diiringi gamelan. Panitia Persiapan Dewan Paroki dibentuk tanggal 27 Agustus 1967. Dan pada akhirnya lahirlah paroki San Inigo Dirjodipuran pada tanggal 12 Oktober 1969 dengan susunan pengurus sebagai berikut: Ketua Rm. L. Sugiri SJ, Wakil ketua Rm. Santobudoyo SJ, Wakil koord Bp. St. Joewono. Luas wilayah pelayanan terdiri dari 11 wilayah meliputi daerah Solo selatan dan sebagian daerah Kabupaten Sukoharjo.
Mewujudkan The Impossible Dream
Pada tanggal 27 Juli 1968 Pengurus Yayasan Gereja dan Papa Miskin San Inigo Surakarta membeli tanah Dirjodipuran seluas 2155m dengan bangunanya seharga 2.400.000,00, akte jual beli No.34./Db/1968 oleh pejabat Pembuat Akte Tanah R. Sugondo Untuk meningkatkan kinerja pada th. 1972 dibentuklah Panitia Pembangunan Gereja yang ke dua.Pembangunan gereja di laksanakan tiga tahap sesuai dengan keadaan keuangan. Tahap pertama pada tahun 1974. Tahap kedua, pembangunan gedung baru dengan kerangka beside sebelah utara bangunan Joglo. Tahap ketiga adalah pembangunan kapel, tempat sepeda, ruang kegiatan mudika, pemugaran pendopojoglo. Akhirnya gereja San Inigo dengan total biaya ± 22,5 juga selesai dibangun tahun 1976. Puncak kebahagiaan itu adalah saat diadakan peresmian dan pemberkatan gereja San Inigo Dirjodipuran oleh Bapak Kardinal Darmoyuwono pada hari Minggu, 12 Desember 1976.
Pembangunan gereja tahun 2000
Arsitek Gereja San Inigo adlah putra oaroki sendiri. Bangunan gereja induk mempunyai luas lantai 904 m. Daya tampungnya 950 orang. Sedangkan gereja joglo dulu hanya 750 orang.Salib di puncak gereja setinggi 28,5 meter,dan terbuat dari bahan stainless steel sumbangan dari ATMI Sala.Genting gereja bukan dari genting tanah liat melainkan dari genting metal,itu lebih baik karena lebih ringan dan tidak mudah bocor.Setelah atap dan genting selesai dikerjakan mulai pengerjaan dalam.Gaya interior altar ingin diperlihatkan adanya nuansa Jaawa karena gereja San Inigo dekat dengan lingkungan keraton.